SUMENEP – Di tengah dunia yang semakin terhubung dan beragam, multikulturalisme bukan lagi sekadar wacana sosial, melainkan menjadi kenyataan sehari-hari. Masyarakat kini hidup berdampingan dengan latar belakang budaya, agama, bahasa, dan cara pandang yang berbeda. Dalam konteks inilah, pendidikan dituntut untuk tidak hanya menjadi ruang transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai wahana penting dalam menanamkan nilai-nilai hidup bersama dalam perbedaan.
Multikulturalisme, secara sederhana, merupakan paham atau pandangan yang mengakui dan menghargai keberagaman dalam suatu masyarakat. Ia bukan sekadar toleransi, melainkan pengakuan aktif bahwa setiap budaya memiliki nilai yang layak dihargai dan diperjuangkan keberadaannya. Dalam masyarakat multikultural, perbedaan bukanlah penghalang untuk bersatu, melainkan sumber kekayaan untuk saling belajar dan tumbuh bersama. Gagasan ini menuntut adanya ruang sosial yang inklusif, adil, dan terbuka terhadap ragam ekspresi identitas.
Seperti yang dikatakan oleh tokoh pendidikan multikultural James A. Banks, “The major goal of multicultural education is to reform the school and other educational institutions so that students from diverse racial, ethnic, and social-class groups will experience educational equality.” (Tujuan utama pendidikan multikultural adalah mereformasi sekolah dan lembaga pendidikan lain agar semua siswa dari kelompok ras, etnis, dan kelas sosial yang beragam mengalami kesetaraan dalam pendidikan). Kutipan ini menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh menjadi alat penyeragaman, tetapi harus menjadi ruang inklusi.
Namun, tantangan pendidikan multikultural tidak ringan. Banyak sistem pendidikan masih bersifat homogen, baik dalam kurikulum, bahasa pengantar, maupun nilai-nilai yang diajarkan. Buku-buku pelajaran masih didominasi oleh narasi mayoritas dan jarang memberikan ruang pada budaya lokal atau kelompok minoritas. Hal ini dapat menyebabkan siswa dari latar belakang berbeda merasa tidak diwakili atau bahkan terasing dari proses pembelajaran. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya melemahkan rasa percaya diri mereka, tetapi juga bisa menciptakan jurang sosial yang semakin dalam.
Pendidikan multikultural tidak berarti menghapus identitas tertentu, tetapi justru mengajak setiap siswa memahami identitasnya sendiri dan identitas orang lain secara lebih dalam. Ia bukan sekadar tambahan pelajaran tentang budaya lain, melainkan pendekatan menyeluruh dalam cara kita mengajar, mendidik, dan memperlakukan satu sama lain. Guru dalam konteks ini menjadi sosok kunci, bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga fasilitator dialog, penjaga inklusivitas, dan teladan keberagaman.
Sebagaimana dikatakan oleh tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, “Setiap anak dilahirkan dengan kodratnya masing-masing. Tugas pendidikan adalah menuntun mereka agar kodrat itu berkembang sebaik-baiknya.” Jika kita mengamini bahwa kodrat itu termasuk latar budaya dan keyakinan, maka pendidikan multikultural sesungguhnya adalah cara untuk menghargai kodrat manusia yang beragam.
Lebih jauh, pendidikan multikultural berperan strategis dalam membangun masyarakat yang damai dan demokratis. Konflik berbasis identitas yang kerap terjadi di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia, seringkali berakar pada ketidaktahuan dan stereotip. Pendidikan multikultural bekerja membongkar bias-bias ini sejak dini, melalui narasi yang adil dan dialog yang sehat. Dengan demikian, pendidikan bukan hanya urusan kelas dan nilai, tapi juga proyek sosial untuk menciptakan masyarakat yang saling memahami, menghormati, dan bekerja sama.
Indonesia, sebagai bangsa yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya dan agama, memiliki potensi besar untuk menjadi contoh praktik pendidikan multikultural yang progresif. Namun potensi ini hanya bisa terwujud bila ada kesadaran kolektif bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang adil bagi semua. Kita membutuhkan kebijakan yang mendukung sekolah-sekolah inklusif, pelatihan guru dalam perspektif multikultural, dan kurikulum yang merepresentasikan seluruh anak bangsa. Lebih dari itu, dibutuhkan semangat keterbukaan dari semua pihak untuk belajar dan tumbuh bersama.
Seperti yang pernah diungkapkan Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Pendidikan multikultural bukan hanya mengubah persepsi siswa terhadap keberagaman, tetapi juga mengubah dunia kecil mereka menjadi ruang yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih bersatu.
Multikulturalisme dan pendidikan multikultural, pada akhirnya, bukanlah proyek sesaat. Ia adalah proses panjang yang melibatkan keberanian untuk berubah, kesediaan untuk mendengar, dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa tidak ada satu pun budaya yang lebih unggul dari yang lain. Dalam dunia yang sering terpecah oleh prasangka, pendidikan multikultural menjadi harapan kita untuk menyulam kembali persaudaraan dalam bingkai perbedaan.
Tidak ada komentar