SUMENEP – Dalam diskursus pendidikan, istilah “sekolah elit” kerap mendapat tempat istimewa di benak masyarakat. Sekolah dengan gedung megah, fasilitas berteknologi tinggi, biaya pendidikan selangit, hingga status sosial siswanya yang berasal dari kalangan tertentu, seringkali dianggap sebagai tolok ukur kualitas pendidikan. Namun, apakah benar bahwa label “elit” otomatis bermakna “bermutu”? Pertanyaan ini penting untuk diajukan di tengah realitas pendidikan kita yang terus berkembang.
Fenomena sekolah elit seringkali menyesatkan dalam pemahaman masyarakat tentang mutu pendidikan. Banyak orangtua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke sekolah berbiaya tinggi, dengan harapan akan mendapatkan pendidikan terbaik. Tak sedikit pula sekolah yang membungkus dirinya dalam kemasan mewah demi menarik pasar, tanpa mengembangkan substansi pembelajaran yang sesungguhnya. Di sinilah letak persoalannya: mutu pendidikan tidak bisa diukur semata dari harga, fasilitas, atau status sosial.
Mutu sekolah seharusnya diukur dari kualitas proses belajar-mengajar, relevansi kurikulum dengan kehidupan nyata, kepekaan sosial yang dibangun, serta keberhasilan sekolah dalam menumbuhkan karakter dan potensi siswa secara utuh. Sayangnya, banyak sekolah elit justru lebih sibuk mempertahankan citra eksklusif—lebih fokus pada “apa yang terlihat” ketimbang “apa yang dibentuk.”
Sebagian sekolah elit bahkan cenderung menanamkan nilai-nilai kompetisi yang berlebihan, prestise semu, dan gaya hidup konsumtif. Alih-alih menumbuhkan semangat kolaborasi, empati, dan kesadaran sosial, siswa malah dibentuk untuk hidup dalam lingkaran homogenitas kelas sosial. Akibatnya, sekolah kehilangan fungsi sosialnya sebagai ruang interaksi lintas latar belakang yang membentuk kepribadian inklusif dan demokratis.
Sebaliknya, banyak sekolah non-elit atau sekolah publik di pelosok negeri justru menunjukkan kualitas yang luar biasa dalam membentuk siswa. Meski dengan sarana terbatas, guru-guru berdedikasi tinggi, iklim belajar yang menyenangkan, dan kepemimpinan yang inspiratif menjadikan sekolah-sekolah tersebut tempat tumbuh yang subur bagi generasi masa depan. Banyak tokoh besar lahir dari sekolah-sekolah sederhana, bukan dari institusi dengan embel-embel “internasional” atau “boarding school eksklusif”.
Kita juga perlu mencermati bagaimana sekolah elit bisa menciptakan jurang sosial dalam pendidikan. Ketika pendidikan menjadi terlalu mahal dan eksklusif, ia tidak lagi menjadi hak, melainkan komoditas. Hal ini merusak prinsip dasar pendidikan sebagai alat pemerataan dan pemberdayaan. Semakin lebar jarak antara sekolah-sekolah elit dan sekolah-sekolah reguler, semakin besar pula potensi kesenjangan sosial dan ketidakadilan dalam akses terhadap masa depan.
Pendidikan yang bermutu harus berakar pada nilai. Ia harus menumbuhkan akal budi, bukan sekadar intelektualitas. Sekolah bermutu adalah sekolah yang membentuk manusia utuh—yang cerdas, beretika, punya kepedulian, dan bisa menghadapi kompleksitas dunia nyata. Sekolah seperti ini bisa lahir di mana saja—di tengah kota besar maupun desa kecil, di sekolah swasta maupun negeri—selama ada komitmen, integritas, dan semangat belajar yang hidup.
Maka, penting bagi masyarakat, orangtua, dan para pembuat kebijakan untuk tidak terjebak dalam glorifikasi sekolah elit. Pendidikan yang baik tidak selalu harus mahal. Yang diperlukan adalah sistem yang adil, guru yang berkualitas, kurikulum yang bermakna, serta lingkungan belajar yang sehat. Sekolah elit bisa saja bermutu, tetapi status elit bukanlah jaminan. Sama halnya, sekolah yang tampak sederhana pun bisa sangat luar biasa jika dikelola dengan niat tulus dan pendekatan yang tepat.
Sebagaimana dikatakan Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis, “Education either functions as an instrument that is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity or it becomes the practice of freedom, the means by which men and women deal critically and creatively with reality.” (Pendidikan dapat menjadi alat untuk menyesuaikan anak pada sistem yang ada, atau menjadi jalan pembebasan). Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang memberi ruang bagi siswa untuk menjadi manusia bebas, sadar, dan bertanggung jawab.
Sudah saatnya kita menilai mutu sekolah bukan dari tampilan luar atau harga yang dibayar, tetapi dari dampak yang ditimbulkan: apakah sekolah tersebut menjadikan anak lebih manusiawi, lebih bijak, dan lebih siap menjadi warga dunia yang berkontribusi. Itulah esensi pendidikan yang sejati.
Tidak ada komentar