GengWDGengWDGengWDGengWDGengWDGengWDGengWDGengWD

Kemanusiaan dalam Keheningan Aksara: Tragedi Lenyapnya Seni Membaca

waktu baca 3 menit
Rabu, 5 Nov 2025 20:19 0 62 Yasmi Media

Oleh : Soivi Mohamad (Suka Baca Buku dan Ngobrol)


Ada seni yang kian memudar di tengah gemerlapnya dunia yang serba cepat, seni itu bernama membaca. 

Seni ini tidak menuntut sorak sorai, tidak tunduk pada algoritma, pun tidak menawarkan sensasi kilat yang mudah tuntas. Sebaliknya, membaca bukan tentang seberapa cepat  menyelesaikan halaman, melainkan seberapa lama kita tersesat di dalamnya.

Kini, membaca telah bergeser maknanya dari sebuah cara untuk menghayati kehidupan menjadi sekadar aktivitas teknis; sebuah kompetensi yang diukur berdasarkan kecepatan memindai paragraf, menemukan kata kunci, dan menarik kesimpulan.

Pergeseran ini menunjukkan sebuah tragedi kemanusiaan: hilangnya kesabaran untuk tinggal lebih lama di dalam kata, kalimat yang bertutur makna. 

Antara Ketergesahan dan Perenungan 

Dahulu, membaca merupakan cara untuk mendekat pada dunia, suatu ritual mendekap pengetahuan. Namun, zaman telah mengubahnya menjadi hal usang yang hanya ditekuni oleh “orang-orang tersesat yang  lupa arah pulang.”

Membaca hanya berfokus pada penyelesaian teks dan menyimpulkan. Ibarat seorang turis yang memotret matahari terbenam: ia hanya mengabadikan sepenggal momen tanpa benar-benar menikmati warna dan suasana yang terhampar.

Mereka mencari kesimpulan, bukan makna. Padahal, makna tidak pernah dapat dipindai; ia hanya muncul ketika gejolak pikiran berhenti tergesa.

Dilema Efisiensi dan Distraksi Visual

Krisis membaca ini berakar pada hilangnya kesabaran di tengah dunia yang terus menuntut kecepatan dan efisiensi.

Kurikulum sekolah, misalnya, sering kali memuja efisiensi, bukan perenungan mendalam. Institusi akademis hanya memuliakan laporan hasil baca, mendorong siswa/mahasiswa untuk menyelesaikan, alih-alih tenggelam dalam bacaan. 

Hasilnya, aktivitas membaca akhirnya dimaknai hanya sebagai upaya menambah pengetahuan bukan sebagai proses perenungan.

Di saat yang sama, manusia modern lebih tertarik pada visual yang cepat selesai—seperti reel media sosial TikTok, Instagram, atau Facebook—daripada novel 250  halaman yang secara perlahan mengajarkan bagaimana hidup menjadi manusia. Merangsang imajinasi dan melatih nalar untuk menjadi bijaksana.

Makna dan Tindakan Radikal

Membaca yang kontemplatif membutuhkan energi dan kesediaan untuk mengalami proses. Terkadang, aktivitas ini dapat membuat mata lelah, mengantuk, atau bahkan menimbulkan debar jantung yang tiba-tiba bangkit karena sebuah kalimat mampu memicu seluruh energi tubuh dan imajinasi liar.

Membaca adalah membiarkan setiap kata, kalimat, dan paragraf mengalir dan menuju kesadaran terdalam diri kita. 

Makna hakiki dari sebuah teks baru akan muncul ketika kita membiarkan satu kalimat meninggalkan gema di kepala—berputar, mengendap, dan menjelma kesadaran baru di tengah keheningan. 
Membaca dengan cara ini adalah tindakan yang radikal di tengah dunia yang terlampau cepat. Ia mengajarkan kita untuk menunggu, menyelami, dan mengakui bahwa ada hal-hal yang hanya dapat dimengerti apabila kita berhenti berusaha menguasainya.

Inilah tragedi manusia hari ini: kita ingin memahami dunia, tetapi tidak lagi memiliki kesabaran untuk membaca kalimat demi kalimatnya. Seperti kata filsuf Argentina Jorge Luis Borges “Segala hal diukur dari yang bisa dilihat – Mata adalah piranti yang rapuh, fantasi dan imajinasi meriah justru ketika kita tidak tergoda untuk melihat”. Tulis Borges dalam ‘Books of imaginary beings. 

Maksud Brogues, modernisme dengan gemerlapnya telah membius bawah sadar manusia, menuntunnya patuh pada yang visual. Manusia  modern ambisi, menuntut segala hal serba cepat. Tapi belum tentu bermakna. 

Membaca pada akhirnya bukan sekadar literasi, melainkan kemanusiaan. Ketika kita menukar kedalaman, perenungan, dan kesabaran dengan kecepatan, ketergesahan dan mudahnya menyimpulkan, kita telah kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia secara utuh dan autentik.

Hanya dengan membaca, manusia belajar menatap pelan, mendengar dengan utuh, dan memahami bahwa dunia—seperti buku-buku yang baik—selalu meminta kita untuk tinggal sedikit lebih lama sebelum benar-benar menutup halamannya.

Maka, seni membaca adalah undangan untuk melambat, mengistirahatkan keinginan untuk tergesa, dan memulihkan kesadaran terdalam yang vital bagi martabat kemanusiaan.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bottom Menu dengan Border Melengkung