GengWDGengWDGengWDGengWDGengWDGengWDGengWDGengWD

Meninjau Ulang Pendidikan Indonesia: Antara Ideal dan Realitas

waktu baca 3 menit
Senin, 25 Agu 2025 08:50 0 233 Yasmi Media

Oleh : Soivi Mohamad
Alumni UIN Jakarta : Pengajar di Yayasan Pesantren Miftahul Ihsan (MA. Al Ma’arif Plus)


​Pendidikan, sebuah pilar krusial dalam membangun peradaban bangsa, seharusnya menjadi landasan yang kokoh untuk membentuk generasi penerus yang cerdas dan berkarakter. Namun, realitasnya di Indonesia seringkali terasa bagai labirin tanpa ujung. Perubahan kurikulum yang terus-menerus dan dinamika di lapangan menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah pendidikan kita benar-benar bergerak maju atau hanya berputar di tempat?

​Pergantian kurikulum yang beriringan dengan pergantian menteri pendidikan seolah menjadi sebuah siklus yang tak terhindarkan. Fenomena ini memunculkan kesan bahwa kebijakan pendidikan lebih kental dengan nuansa politis daripada didasarkan pada evaluasi komprehensif. Perubahan yang terlalu cepat ini menimbulkan kebingungan di kalangan tenaga pendidik. Belum tuntas memahami dan mengimplementasikan kurikulum yang berlaku, mereka sudah harus beradaptasi kembali dengan kurikulum baru. Hal ini bukan hanya merepotkan, tetapi juga menghambat proses belajar-mengajar yang stabil dan berkelanjutan.

​Di sisi lain, terdapat jurang yang menganga antara idealisme dan realitas. Di atas kertas, visi pendidikan kita tampak begitu mulia, namun implementasinya di lapangan kerap kali menemui banyak kendala. Sarana dan prasarana sekolah yang belum merata, kesejahteraan tenaga pendidik yang masih jauh dari kata layak, serta akses terhadap penunjang pembelajaran yang belum terpenuhi secara menyeluruh menjadi bukti nyata. Para guru yang seharusnya fokus pada pengembangan kreativitas dan transfer ilmu pengetahuan justru disibukkan dengan urusan administratif yang tak ada habisnya. Beban ini membatasi mereka untuk menjadi pendidik seutuhnya, alih-alih hanya menjadi pelaksana kurikulum.

​Dampak dari semua permasalahan ini akhirnya berujung pada peserta didik. Ketika guru disibukkan dengan hal-hal yang tidak substansial, maka fokus utama pendidikan—yaitu membentuk karakter dan mentalitas siswa—menjadi terabaikan. Proses belajar hanya berpusat pada aspek kognitif, di mana siswa dituntut untuk menghafal dan mengejar angka di rapor. Tujuan sejati pendidikan, yaitu mencerdaskan dan melahirkan individu yang bermanfaat bagi masyarakat, menjadi kabur. Siswa seolah kehilangan arah tentang masa depan mereka setelah lulus, karena mereka hanya dibekali dengan pengetahuan teoretis tanpa dibimbing untuk mengembangkan potensi diri secara holistik.

​Pada akhirnya, apa yang kita lihat hari ini adalah ironi yang memprihatinkan. Pendidikan yang seharusnya menjadi fondasi kemajuan bangsa, justru terombang-ambing oleh kepentingan politik dan hambatan struktural. Pertanyaan satir seorang guru tentang “pembelajaran berbasis rindu” yang mungkin muncul setelah “pembelajaran berbasis cinta” bukan hanya sekadar lelucon, melainkan cerminan dari kegelisahan mendalam terhadap masa depan pendidikan kita.

Penting bagi kita semua untuk kembali merenungkan, sudahkah pendidikan di Indonesia benar-benar berpihak pada masa depan bangsa, atau justru hanya menjadi komoditas politik yang terus berganti rupa?

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bottom Menu dengan Border Melengkung