Ditulis Oleh
Soivi Mohamad, Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Setiap pertemuan dengan seorang guru besar selalu meninggalkan jejak yang mendalam, terutama jika guru tersebut adalah sosok sekaliber Kiai Dr. Abdul Muqsith Ghazali, MA. Beliau adalah seorang dosen tafsir Al-Qur’an yang ilmunya terasah di bawah bimbingan langsung almarhum KH.R. As’ad Syamsul Arifin, di mana beliau berhasil menghafal 24 kitab semasa nyantri di Pondok Pesantren Salafiyah al-Shafi’iyyah, Situbondo Jawa Timur.
Sebagai salah satu tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) dan pengajar di berbagai universitas ternama seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, PTIQ Jakarta, Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta, dan Universitas Paramadina, Kiai Muqsith menjadi sumber inspirasi.
Saya merasa sangat bersyukur pernah menjadi mahasiswa beliau, khususnya dalam mata kuliah studi Al-Qur’an di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebuah pengalaman yang membentuk cara pandang saya secara fundamental.
Kesan pertama yang tak terlupakan terjadi pada semester awal perkuliahan, di kelas Ulumul Qur’an yang beliau ampu. Saat sesi perkenalan, beliau langsung mengidentifikasi asal saya dan memanggil saya dengan sebutan khas, “Madura”. Dengan nada menantang sekaligus memotivasi, beliau berkata, “Ayo, yang dari Madura coba ngaji yang lantang di depan. Yakinkan kita semua kalau kamu Madura asli.” Tanpa ragu, saya maju dengan percaya diri. Saya melantunkan ayat favorit yang sering saya dengar dari Kiai Rohman saat menjadi imam di Musala Pesantren Miftahul Ihsan, yaitu Surat Ali Imran ayat 96-97.
Selesai membaca ayat tersebut, Kiai Muqsith meminta seluruh kelas untuk memberikan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi. Beliau kemudian menyatakan bahwa saya “sah sebagai orang Madura”. Karena benar-benar bisa ngaji Qur’an. Alasannya, menurut beliau, pengucapan huruf (Makharijul Huruf) orang Madura sangat fasih dan bacaan Al-Qur’an mereka umumnya sangat baik, tidak hanya dari segi makhraj tetapi juga penerapan hukum-hukum bacaan (tajwid).
Pengakuan ini membawa ingatan saya kembali ke masa pertama kali masuk Pesantren Miftahul Ihsan sekitar tahun 2004. Kala itu, hal pertama yang diuji oleh K. Abbasi Rahman (pengasuh Pesantren Miftahul Ihsan) adalah kemampuan membaca Al-Qur’an.
Berbekal hafalan nadhoman dan pemahaman dari kitab-kitab tajwid dasar seperti kitab Hidayatus Sibyan karangan Sa’id bin Sa’ad bin Muhammad bin Nabhan Al Hadramati Ath-Tho’I Asy-Syafi’i dan kitab Tuhfatul Atfal karangan Syaikh Sulaiman bin Hasan bin Muhammad Al Jamzuriy yang saya pelajari di kelas diniyah Miftahul Ulum asuhan K.H. Habibullah Syamsul Arifin Nur. Saya berhasil melewati tes lisan tersebut. Ternyata, fondasi ilmu tajwid yang saya bangun sejak dini menjadi dasar dari pujian yang saya terima di kelas Kiai Muqsith bertahun-tahun kemudian.
Namun, pelajaran terpenting dari beliau tidak berhenti pada apresiasi teknis bacaan. Saya mengerti, kalau tes bacaan Qur’an oleh kiai Muqsith kepada saya merupakan cara beliau menghangatkan suasana pada pertemuan awal kelas.
Kiai Muqsith menekankan sebuah pesan fundamental bagi kami, para mahasiswa Ushuluddin. Beliau menegaskan bahwa sebagai calon ahli dalam studi keislaman, tugas kami tidak cukup hanya dengan mampu membaca Al-Qur’an atau menghafal. Kami dituntut untuk memahaminya secara mendalam, baik dari sisi tekstual maupun kontekstual. “Supaya apa?” tanya beliau retoris. “Supaya pengetahuan kita tentang Qur’an itu utuh, tidak hanya dalam satu frem saja.”
Pesan ini menyadarkan kami bahwa penguasaan tajwid hanyalah sebagian gerbang dari cara membaca teks Qur’an. Bahkan untuk menyelami samudra makna Al-Qur’an yang tak terbatas. Diperlukan ilmu Qur’an yang lain. Seperti Ulumum Qur’an, tafsir dan lainnya.
Pada akhirnya, pengalaman bersama Kiai Muqsith Ghazali memberikan sebuah pelajaran yang utuh. Pujian beliau terhadap saya bukan sekadar sanjungan personal, melainkan sebuah pengantar menuju pemahaman yang lebih esensial: pentingnya menggabungkan kemahiran teknis dalam melafalkan wahyu dengan kedalaman wawasan dalam menafsirkan pesannya.
Beliau mengajarkan bahwa untuk memahami Islam secara komprehensif, seorang pelajar harus mampu bergerak lincah antara teks dan konteks, sehingga pemahamannya menjadi kaya, relevan, dan tidak terjebak dalam pandangan yang sempit.
Tidak ada komentar