- Hukum Doa Qunut Witir di Separuh Terakhir Ramadhan
- Fadhilah atau Keutamaan Sholat Tarawih Malam Ke-1 sampai Malam Ke-30
- Workshop Pesantrenpreneur: Mendorong Santri Menjadi Interpreneur
- Anies Baswedan hingga Menteri Beri Ucapan Selamat Resepsi Wisuda Purna Siswa PP. Miftahul Ihsan
- Ribuan Jamaah Hadiri Pengajian Umum di Pondok Pesantren Miftahul Ihsan
- Pengajian Akbar di Yayasan Pesantren Miftahul Ihsan Sukses Digelar Bersama KH. Abdul Malik Sanusi
- Panitia Haflatul Imtihan dan Wisuda Purna Siswa Yayasan Pesantren Miftahul Ihsan Gelar Rapat
- Ratusan Jamaah Gelar Shalat Idul Fitri di Pondok Pesantren Miftahul Ihsan Sumenep
- YASMI Peduli Pondok Pesantren Miftahul Ihsan Bagikan 1000 Paket Buka Puasa
- Jadwal Imsakiyah Ramadhan 1444 H/2023 M Wilayah Kabupaten Sumenep
Apakah dia mengalami Depresi? Cek Bicaranya
Jakarta, Beberapa orang pandai menyembunyikan perasaan, dari luar tampak baik-baik saja meski hatinya menangis tercabik-cabik. Para ilmuwan baru-baru ini berhasil menentukan dengan tepat tingkat keparahan depresi berdasarkan cara berbicara.
Dalam penelitian yang diklaim sebagai yang terbesar di dunia tersebut, para ilmuwan menemukan bahwa cara berbicara susah dipalsukan ketika seseorang sedang depresi. Perubahan cara bicara itu bisa dipakai untuk mengukur tingkat keparahan depresi yang dialami.
Adam Vogel, kepala Speech Neuroscience Unit di University of Melbourne mengatakan bahwa cara berbicara adalah penanda kesehatan otak yang sangat kuat. Berbagai perubahan yang terjadi pada cara berbicara bisa menunjukkan seberapa bagus otak bekerja.
"Cara berbicara orang yang sedang depresi berubah dan dipengaruhi oleh terapi yang diberikan, menjadi lebih cepat dengan jeda yang lebih pendek," kata Vogel dalam laporannya di jurnal Biological Psychiatry seperti dikutip dari Medindia, Selasa (21/8/2012).
Dalam penelitian tersebut, Vogel melakukan pengamatan terhadap 105 pasien yang sedang menjalani terapi untuk menyembuhkan depresi. Beberapa hal yang diamati antara lain waktu, nada dan intonasi bicara yang kemudian dibandingkan dengan hasil pemeriksaan psikologis.
Para pasien diminta melakukan panggilan telepon ke sebuah mesin penjawab otomatis. Ada yang diminta berbicara apa saja, mengungkapkan perasaan dan sebagian hanya diminta untuk membaca teks supaya tidak perlu repot-reopot memikirkan mau bicara tentang apa.
"Temuan ini memungkinkan para psikolog jadi lebih fleksibel dalam memeriksa pasien dari jarak jauh, hanya dengan mendengarkan pola dan cara berbicara meski dari lokasi yang sangat jauh atau di kampung-kampung," kata James Mundt dari Centre for Psychological Consultation di Wisconsin.